Selengkapnya di: Anggasona | Tutorial Blog | Tips SEO | Hotnews: Cara Membuat Teks Berjalan [Marquee] di Title Tab Blogspot http://anggasona-anotherbestblog.blogspot.com/2010/06/cara-membuat-teks-berjalan-marquee-di_18.html#ixzz1IEECY6Iy SeLaMat DAtang Di BLog SAya: April 2011
Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket
Widget by : Opty

Wednesday 20 April 2011

Cinta Laki-Laki Biasa

MENJELANG hari H, Nania masih sukar mengungkapkan alasan kenapa dia mahu menikah dengan lelaki itu. Setelah melihat ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sedar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya.
“Kenapa?” tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
“Kamu pasti bercanda!”. Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
“Nania serius!” tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya. “Tidak ada yang lucu,” suara Papa tegas, “Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!” Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
“Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?” Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, “maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?”
Nania terkesima “Kenapa?”
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata ‘kenapa’ yang barusan Nania lontarkan.
“Nania Cuma mau Rafli,” sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat.Parah. “Tapi kenapa?” Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
“Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!”
Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak ‘luar biasa’. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Disampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
“Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.”
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.”Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!”
“Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!”
“Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!”.Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali inidilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!.Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!.Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
“Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.”
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
“Tak apa,” kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
“Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.”
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
“Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?”
Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!.Tak imbang! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak.Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!”.Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit.
Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
“Baru pembukaan satu.”.”Belum ada perubahan, Bu.”
“Sudah bertambah sedikit,” kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.”Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.”
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah,didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. “Masih pembukaan dua, Pak!”
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
“Bang?”.Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. “Dokter?” .”Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”
Mungkin?.Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?. Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun.
Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
“Pendarahan hebat.”.Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!
Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya.
Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil.
Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh.
Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
“Nania, bangun, Cinta?”
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan.
Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, “Nania, bangun, Cinta?”
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan.
Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
“Baik banget suaminya!”
“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!”
“Nania beruntung!”
“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”
“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!”
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Tuesday 19 April 2011

Kisah Cinta yang Mengharukan …

Cerita ini adalah kisah nyata… dimana
perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah
laptopnya.
Bacalah,  semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran
bagi kita semua.
***
Cinta itu butuh kesabaran…
Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???
Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…..
Pernikahan kami sederhana namun meriah…..
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar,
tampan & mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami
berpacaran dulu..
Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….
Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan
aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.
Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi.
Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia
menikah dengannya.
***
Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa
waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja
karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat
kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku
harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.
Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…
Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu &
adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak
menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu
dari suamiku…
Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang
suami ku, aku dihina-hina oleh mereka…
Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku
mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat
dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu.
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah
kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan
ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan
dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus
suamiku yang sakit karena kecelakaan.
Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah
kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan
teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang
wanita yang sangat akrab  mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa
menghibur suamiku.
Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika
melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.
Kubuka pintu yang tertutup rapat itu  sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum
dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan
mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia
kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.
Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya
erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”,
ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan
cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.
Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …
Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah
mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan
keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku
pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di
dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.
Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku,
baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang
bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan
suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.
Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang
saja, ada
kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja.
Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan
alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih
labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak
diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang
menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan
memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan
padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah
ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun
pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai
ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam
kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.
***
Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut
kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.
Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku
memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia
mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang
bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?
Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang
Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi
barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?
Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku
juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita
menikah dan aku akan pulang dengan mama ku
”, jawabnya tegas.
Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja
kamu disana?
“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa
penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana
kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket
pesawat untuknya.
Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”,
jawabnya tegas.
Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3
minggu tidak bertemu, ya kan?
”, lanjut nya lagi sambil memelukku
dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh
aku tunjukkan pada nya.
Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang
& cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku,
tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu
padaku karena suamiku sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus
berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.
Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya
harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan
oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat
mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.
Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan
keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus
airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini
bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak
tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan
ditinggal pergi olehnya.
Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu
bersama-sama kemana pun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman,
karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.
Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi
kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak,
tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku.
Dia pasti akan selalu menelponku.
***
Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa
sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis,
jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku
pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh
tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku
mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik
laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku
terkena kanker mulut rahim stadium 3.
Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..
Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu
berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa
memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan
bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..
Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu
marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku
jika ia selalu marah-marah terhadapku..
Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau
membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan
cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari
aku hitung…
Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang
melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang
masuk.
Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya
satu hari lagi, aku akan kabarin lagi
”.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam
saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku
menantinya di rumah.
Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai
parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku
juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir
ini.
Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap
salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap
berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci
kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah
kami.
Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa
reaksinya..
Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung
naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan
bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam,
mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.
Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur
sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus
wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus
witir 3 raka’at.
***
Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya
dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku
memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku
berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari
rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku?
Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?
Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu.
Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian
yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang
sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe
pikir aja sendiri!!!
”. Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku
berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau
berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas
tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara
seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari
mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras.
Suamiku telah berubah.
Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan
mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku
serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya
seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang
aku pegang.
Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.
***
Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis
setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang
baru saja berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya
tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia
perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia
tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku
telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu
kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku
sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya
hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah
menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku
untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam
usai, suamiku memanggilku.
Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama
kesayangannya “Ayah”.
Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.
Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi
kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara
kami.
Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!
Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke
Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.
Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia
menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh
cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin..
sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin
rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada
tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu
menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar
menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam
kesendirianku..
***
Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman
aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah
berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada
acara apa ini..
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam
kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga
besarnya.
Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam
lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada
sebelum suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik
padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun
menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang
tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.
Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh
dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.
Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling
berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.
Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara
dengan kau Fisha
”. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot
mata yang tajam.
Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami
hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan
yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!
“.
Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina
ataukah dipisahkan dengan suamiku?
Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu..
sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak
mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.
” Neneknya
berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong
matanya.
Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan
dengannya
”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya.
Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak
punya keberanian itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari
ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau
maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?
MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini
seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap
seperti ini terhadapku..
Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal
di pulau
kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.
Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku
untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan
gemetar aku menjawab dengan tegas.
Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku
dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa
depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru
dirumah kami.
Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan
pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi
air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan
menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?
Suamiku menjawab, ”Dia Desi!
Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan
pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan
ini Nek?.
Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.
Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk
menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok
”, setelah
berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.
Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat,
aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin
berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini,
cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku..
Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun
belakangan ini?
Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin
sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?
Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok.
Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku
sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.
Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia
berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera
memandangnya dari cermin meja rias itu.
Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih
ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi
saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.
Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia
tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan
jangan salah memakai shampo.
Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia
sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata,  “sudah malam, kita
istirahat yuk!
Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.
Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu,
kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi
pernikahan suamiku.
Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin
takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat
memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu.
***
Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di
laptopku.
Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku
marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat
suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam
itu kepadaku. Aku
save di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”
Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup
untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena
mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri
sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya
masuk dan berbicara padaku.
Apakah kamu sudah siap?
Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia
masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci
kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan
do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu
setelah itu..
”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku
meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?
Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku
langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar…
Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku
tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.
Dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu
apa bunda?
”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia
agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya
saja.
Dia tersenyum sambil berkata, ”Kita liat saja nanti ya!”.
Dia memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat
yang ayah temui selain mama
”.
Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan
berkata, “Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja?
Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih
sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan
satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah!
Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya,
setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang
dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah
berzina Ayah.
” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki
imamku sambil berkata, ”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.
Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali.
Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres
denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik saja kan?” tanyanya
dengan penuh khawatir.
Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti
dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang
“.
Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus
khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.
***
Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang
suamiku.
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat
hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”,
tapi aku ingat akan kondisiku.
Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut.
Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante
yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan
hati ini. Ya… aku kuat.
Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan.
Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka
melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang
selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.
Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja.
Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia
tidak suka dengan pernikahan ini?
Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak
seperti aku dahulu, yang di musuhi.
Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur
dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang
mereka lakukan didalam sana.
Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk
berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa
ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur
dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu
sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan
kiriku, tentu saja aku kaget.
Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti
itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia
berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita
karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang
dengan mama, papa dan juga adik-adikku
Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku
untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum
saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan
menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku
telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau
ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang
selama 2 tahun ini..
Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?
Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu
sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.”
Dengan lembut
suamiku menjawab seperti itu.
Lalu suamiku berkata, ”Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan
bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus
mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta
ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar
bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan
tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin
ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda
pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi
oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda
Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada
kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak
pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku
ini.
Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak
pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya
mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang
lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku
tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.
Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku
sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku
dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya
juga.
Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.
***
Keesokan harinya…
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing,
rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan
main, ia langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit..
Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku basah..
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa
kekhawatiran.
Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda,
Ayah minta maaf…
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa
yang terjadi padaku?
Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang..
bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya,
Yah..
Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang
banget sama Ayah.
Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas,
kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan
suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup
dengan kalimat tahlil.
Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..
Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami
pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.
Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan
anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu
aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau
fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa
engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah
menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa
yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan
Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap
sebaliknya.”
***
Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.
=====================================================
Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena
dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya.
Sangat terlihat Ayah..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia
memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa
seperti itu ayah?
Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu
pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..
Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat marah..
Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela
Desi dan
ibunya..
Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi
padamu..
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus
menyerangku..
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.
Aku harus sadar diri.
Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela.
Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.
Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum
untukku.
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.
Sebelum ajal ini menjemputku.
Ayah.. aku kangen ayah..
=====================================================
Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu
ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang
mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.
Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan selalu hidup dihati ayah.
Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku,
rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun
aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa
tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.
Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..
Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu
terlihat di tidurmu yang panjang.
Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu
meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka.
Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu
saja.
Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..
Ayah Sayang Bunda..

Monday 18 April 2011

Akhir Cerita Cinta

Hari ini Dodi berulang tahun. Aku ingin memberikan sesuatu yang istimewa untuknya. Sesuatu yang bisa membuatnya bahagia dan memaafkan tingkah lakuku yang tak pantas selama ini.
Hari ini akan kuserahkan seluruh cintaku padanya. Kan kuberikan sepenuh hatiku untuknya. Kan kubalasa hari – hari menyakitkan yang dilaluinya dengan manisnya cinta. Aku membungkus bingkisan yang telah kupersiapkan untuk kado ulang tahunnya sambil bersenandung riang. Dodi sudah lama menginginkan jam tangan ini, yang diburunya sejak enam bulan lalu. Kutemukan seminggu yang lalu saat aku tugas ke Singapura. Di hari istimewanya ini aku akan melakukan sesuatu yang spesial. Aku akan menjamunya makan malam, memberikan hadiah untuknya, dan menyatakan cintaku padanya. Ya, aku ingin kembali padanya. Aku ingin menjadi bagian hidupnya lagi. Aku ingin mengarungi dunia bersamanya.
Aku bertemu Dodi setahun yang lalu, di klub fotografi tempat aku menghabiskan waktu di akhir pekan. Aku adalah pendatang baru di klub ini. Rasa penasaran melihat foto – foto spektakuler yang dihasilkan Joey, temanku, mendorongku untuk bergabung di salah satu komunitas potography di Jakarta. Sial bagiku.
Di hari pertama aku bergabung, klub memutuskan untuk hunting foto di kawasan kota tua Jakarta.  Sesampai di tempat tujuan, setiap fotografer langsung beraksi. Potret sana, potret sini. Ambil angle dari sana dan dari sini. Semuanya sibuk, tak terkecual aku. Bedanya, Semua orang sibuk memotret, sementara aku sibuk berkutat dengan Nikon D80 yang baru kubeli empat hari yang lalu. Ini pertama kali aku memiliki kamera SLR dan seratus persen buta bagaimana mengoperasikannya. Mau bertanya, malu. Jadi, yang kulakukan hanyalah membuka dan menutup lensa. Aku tengah mengotak – atik sang kamera saat seorang cowok dengan postur tubuh kurus mendatangiku.
“Kenapa kameranya?” tanyanya. “Rusak ya?” Bingung tak tahu mau mengatakan apa. Aku hanya mengangguk - angguk tak jelas. Si cowok mengambil kamera dari tanganku, memencet - mencet tombolnya, dan mengambil foto ku dari berbagai sisi.
“Bagus kok,” katanya. “Kelihatannya masih baru. Nih,” dia mengembalikan kamera malang tersebut. Aku hanya diam, masih bingung bagaimana mengoperasikannya. “Kok belum mulai motret?” tanyanya. “Padahal, banyak banget objek menarik lho. Lihat. Langitnya bagus banget. Dengan siluet pohon, bakal jadi poto sempurna.”
“Mmmmm... mmmm” aku menggumam ragu – ragu. “Sebenarnya, aku tak bisa mengoperasikannya,” kataku pasrah membayangkan dia akan menertawakanku. Tapi, dia tidak tertawa. Dia mengajakku duduk di bangku kayu dan memberikan kursus kilat kepadaku. Belakangan aku tahu, namanya Dodi. Dia anggota klub senior dan seorang arsitek.
Pertemananku dengan Dodi terus berlanjut. Di setiap pertemuan, dia selalu memberikan tips - tips khusus bagaimana mengambil foto yang baik, waktu terbaik untuk mengambil poto panorama, angle sempurna untuk memotret seseorang. Percakapan kami berlanjut tidak hanya seputar fotografi. Dilanjutka dengan cerita – cerita seputar pekerjaan. Dia bercerita tentang designya, aku bercerita tentang kasus-kasus di firma hukum tempatku bekerja. Dalam waktu dua bulan, kami menjadi dekat.
Dodi sahabat yang baik. Dia selalu bersedia mengajariku terhadap hal – hal yang tak kuketahui tentang. Mendengarkan keluh kesahku tentang klien – klien yang menyebalkan. Menghiburku saat aku kesal. Kebaikan tulus dari seorang sahabat. Aku menyayanginya. Dan aku tahu, dia juga menyayangiku. Bahkan sangat menyayangiku. Satu hal yang terkadang sangat merisaukanku. Aku memang menyukai Dodi. Namun, aku khawatir, rasa sayangnya yang berlebihan akan membawanya menyatakan sesuatu padaku, sesuatu yang akan sangat sulit kuterima.
Aku memang menyayanginya. Namun, aku tidak mencintainya. Aku mencintai seseorang yang tak pernah tahu kalau aku mencintainya. Seseorang yang kucintai diam – diam. Aku mencintai Rafie. Teman serumah saat aku tinggal di Wisma Kenanga, saat aku bekerja di Bandung. Seseorang yang sempat mengisi mimpi – mimpi malamku. Seorang yang bisa memebuat hariku di kantor terasa begitu menyenangkan hanya karena sebuah email singkat darinya. Padahal email tersebut hanya menanyakan nomor telepon seorang teman yang lain. Rasa pengecut menghalangiku untuk menunjukkan perasaanku kepadanya. Aku tetap memendamnya, hingga dia pindah ke Surabaya untuk melanjutan sekolah spesialisnya.
Kepergiannya tak membuat cintaku luntur. Perasaanku tetap kuat. Yakin, suatu saat dia akan datang kepadaku. Setiap hari, hal pertama yang kulakukan adalah mengecheck facebook miliknya, dan memastikan statusnya masih Single.
Saat itu akhirnya tiba. Dodi menyatakan cintanya kepadaku. Aku menerima cintanya. Bukan karena aku mencintainya, hanya karena aku tak mau kehilangan perhatian darinya. Kehilangan kebaikan – kebaikannya. Menerima cintanya hanya sekedar cara untuk membunuh kesepian dan kerinduanku akan Rafie. Terkadang, aku merasa berdosa. Saat bersamanya, aku malah membayangkan sosok Rafie. Pernah, suatu hari dia memergokiku tengah memandang foto Rafie di facebook. Aku kaget bukan kepalang, dan berpura – pura tenang menjelaskan bahwa Rafie adalah temanku, dan aku penasaran ada dimana dia sekarang. Kukira Dodi akan cemburu. Ternyata aku salah. Dia tetap bersikap biasa. Menganggap kelakuanku melihat foto laki – laki lain dengan penuh damba adalah satu hal biasa.
Namun, aku tak bisa membohongi diri. Semakin lama aku bersamanya, aku semakin tersiksa. Sms – sms manis untuk mengingatkan jangan lupa makan dan shalat darinya mulai membuatku bosan. Akhir pekan mulai terasa menyiksa. Kebersamaan dengannya yang dahulu sangat kunikmati berubah menjadi siksaan batin yang tak tertahankan. Sering, aku membatalkan janji tanpa sebab, berpura – pura sibuk hanya sekedar ingin menghindarinya. Kerinduanku pada Rafie, tak jarang membuatku marah tak beralasan kepadanya. Begitupun, dia tetap baik. Mendengarkan amarahku hingga aku puas. Esoknya, semuanya seolah tak pernah terjadi.
Semuanya berawal dari reuni singkat itu. Meskipun telah berpisah dengan teman – teman dari Wisma Kenanga, aku tetap intens berkomunkasi dengan mereka melalui milis khusus. Melalui milis ini kami saling memberi khabar, dan melalui milis ini pula aku mengetahui sedikit khabar tentang Rafie. Tiga tahun tak pernah bertemu, kami memutuskan untuk melakukan reuni kecil di Jogja, di rumah Harry, salah seorang teman. Jogja jadi pilihan utama karena letaknya yang strategis dari Jakarta maupun Surabaya dimana kami bermukim. Reuni yang kusambut dengan senang hati. Bayangan aku akan segera bertemu dengan Rafie membuat nafaskku sesak jika membayangkannya.
Aku membatalkan janji dengan Dodi dan klub fotografi untuk hunting ke pedalaman Kalimantan demi reni tersebut. Padahal, rencana hunting ini sudah lama sekali dipersiapkan. Seperti biasa, Dodi memaklumiku. Sama sekali tidak marah dengan keputusanku. Dia tetap memberikan kebaikan seperti biasanya. Kebaikan yang membuatku malu. Dan marah. Terkadang, ingin rasanya melihatnya marah kepadaku, agar aku tak perlu merasa terlalu bersalah.
Reuni tersebut berjalan lancar dan sempurna. Harry sudah jadi Direktur di salah satu organisasi yang sedang ditanganinya. Eki sudah menikah dan Roby sudah memiliki sepasang anak kembar. Hanya aku dan Rafie yang belum menikah. Rafie masih semenarik dulu. Yang membedakannya hanyalah sikapnya yang semakin bertambah matang. Gayanya masih tenang dan masih seintelektual dulu. Hal yang sangat kukagumi darinya dan membuatku selalu rendah diri jika bersama dengannya.
Aku tidak menyangka, pertemuanku dengan Rafie terus berlanjut. Dia telah menyelesaikan sekolah spesialisnya di Surabaya dan berniat pindah ke Jakarta, menerima tawaran bekerja di salah satu rumah sakit swasta sebagai spesialis jantung. Kepindahannya ke Jakarta membuat hubungan kami kembali dekat. Bahkan lebih dekat daripada saat kami tinggal bersama. Aku mulai bermain api. Entah mengapa, kecanggunganku di depannya hilang, dan aku bisa bersikap biasa kepadanya. Rasa cintaku semakin menggebu. Aku semakin mencintainya. Tawaran makan malam bersama dengannya merupakan hal yang paling kutunggu – tunggu. Bahkan, beberapa malam minggu aku membatalkan janji dnegan Dodi untuk menghadiri konser musik klasik kesukaan Rafie. Begitupun, aku masih tak tahu bagaimana perasannya padaku.
Hari itu hari ulang tahun Rafie. Aku memberinya surprise dengan memberikan bingkisan sederhana untuknya. Meskpin biasa, namun Rafie sangat senang dengan yang kuberikan. Dia mentraktirku makan malam di sebuah restoran di Kemang untuk merayakan ulang tahunnya. Malam itu begitu sempurna, sebelum Rafie mengantarku pulang. Hari sudah larut, menunjukkan pukul 11 malam. Namun, ada seseorang yang duduk di teras rumahku. Dody. Oh Tuhan. Mau apa dia malam – malam begini. Dia sudah terlanjur melihatku. Tak ada waktu untuk kabur, dan Rafie sudah terlanjur keluar dari mobil.
Dodi menyambutku pulang. Wajahnya kelihatan lelah. Ada sorot kesedihan disana. Namun, seperti biasa. Dia tetap seperti malaikat. Tidak marah kepadaku, dan tidak menunjukkan bahwa kami memiliki hubungan khusus. Tidak sedikitpun dia menunjukkan kebencian kepada Rafie.
“Hi Sheila. Aku menunggu dari tadi. Ada seseorang yang menitipkan ini padamu. Kukira, harus kusampaikan malam ini juga,” dia menyerahkan sebuah bingkisan untukku. Tersenyum hangat, meskipun aku tahu hatinya pedih.
“Karena si bingkisan sudah berada di tangan yang benar, aku pulang dulu ya. Senang berkenalan denganmu Rafie,” dia berlalu. Setelah Rafie pulang, aku membuka bingkisan yang ternyata sebuah lensa tele yang sangat kuinginkan. Aku terenyuh ketika mengingat hari ini adalah hari jadi kami. Dan aku telah melupakannya begitu saja.
Setelah kejadian itu, Dodi sedikit berubah. Perhatian yang diberikannya sudah berkurang intensitasnya. Bahkan, ajakan hunting juga mulai jarang terdengar. Namun, aku yang tengah dimabuk cinta tak terlalu memperdulikan perubahan yang semakin lama seharusnya semakin terlihat. Bahkan, aku tak mempermasalahkan, di hari ulang tahunku dia tak dapat merayakan bersama denganku dikarenakan ingin bergabung bersama teman – teman lamanya dari universitas di kota gudeg. Bagus juga, pikirku. Aku bisa menghabiskan malam ini bersama Rafie.
That’s the perfect night. Aku dan Rafie merayakan ulang tahunku di sebuah restoran di Forth Season. Jamuannya bukan main. Rafie mentraktirku untuk candle light dinner dan memberikan sebuah liontin berinisial namaku. Malam yang diisi dengan penuh tawa dan canda.  Tak sedikitpun aku terfikir akan Dodi.
Insiden itu terjadi kembali. Sudah tengah malam, Rafie mengantarku pulang. Seperti dejavu. Seorang sosok tengah menunggu di beranda rumahku. Dodi. Masih seperti kejadian sebelumnya. Aku sudah tidak memiliki waktu untuk kabur. Dan Rafie sudah terlanjur keluar dari mobil untuk membukakan pintu mobil untukku. Namun, dia tidak seperti Dodi yang biasa kutemui. Wajahnya yang selalu tenang terlihat muram. Terlihat kecewa mungkin lebih pantas. Menyadari berada di tempat dan waktu yang salah, Rafie segera undur diri dan mengucapkan salam buatku dan Dodi. Seperti biasa, Dodi tetap sopan. Bahkan masih bisa melambaikan tangan kepada Rafie. Seseorang yang telah merebut hatiku darinya.
“Aku tahu Sheila. Hubungan kita tak akan bisa berlanjut. Aku tidak ke Jogja. Aku hanya mengetes, sampai dimana perasaanmu terhadapku. Dan, feelingku selama ini benar. Kamu lebih mencintai dokter itu daripada aku.”
“Dodi.. Maaf...Aku..” aku berusaha mencari kata – kata pembelaan.
“Sudahlah Sheila. Tak ada gunanya menyangkal. Aku sudah menyaksikan sendiri. Aku hanya ingin kamu bahagia. Selamat tinggal Sheil,” dan dia meninggalkanku begitu saja.
Meskipun aku mencintai Rafie, putus dengan Dodi membuatku merasa sedikit kehilangan. Aku merindakukan perhatiannya. Kesabarannya. Serta ketenangan yang selalu diberikannya kepadaku. Dia masih tetap baik. Tak sedikitpun menunjukkan tanda – tanda kebencian, padahal aku sudah jelas – jelas mengkhianatinya. Hubunganku dengan Rafie, juga bertambah dekat. Namun, dia bukan Dodi yang selalu mengerti aku. Aku selalu menemani Rafie menonton konser klasik kesukaannya. Namun, dia selalu untuk menyaksikan konser Anggun yang selalu ingin kutonton. Kurang berkelas, begitu katanya. Aku selalu mendengarkan dia bercerita tentang hobinya mengoleksi miniatur pesawat, namun selalu menunjukkan tampang pura - pura bego saat aku meminta sarannya akan foto - fotoku. Dan yang paling parah, dia masih belum menyatakan cinta kepadaku.
Aku harus bertindak. Sudah hampir empat bulan kami berhubungan. Bertelepon setiap malam. Saling mengirimkan sms sekedar mengingatkan untuk makan siang. Berkencan setiap akhir pekan, jika bisa disebut kencan karena kami tak pernah mengucapkan tiga kata sakti itu. Hingga satu malam, kuputuskan untuk melangkah lebih jauh. Aku harus berani jika ingin mendapatkan kejelasan.
“Maaf Sheila. Aku tidak tahu jika kamu mencintaiku.” Apa? Tak tahu? Jadi apa dikiranya hubungan kami selama ini? “Sejak kapan kamu mencintaiku?” tanyanya
“Sejak kita tinggal bersama di Wisma Kenanga,” jawabku datar. Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini.
Aku mengkhianati orang yang telah mencintaiku dengan sepenuh hati demi orang lain yang tak sedikitpun mencintaiku. Menunggu seseorang yang tak layak untuk ditunggu. Aku malu. Pada Dodi. Terlebih pada diriku sendiri. Aku mencapakkan Dodi untuk seseorang yang tak layak untuk dicintai. Benar kata orang, “You dont know what you got till it’s gone” . Setelah putus dengan Dodi, aku baru menyadari bahwa aku mencintainya.
“Hi Sheila. Apa khabar. Kamu cantik sekali malam ini,” Dodi menyambutku di pintu apartemennya.
“Baik. Kamu apa khabar? Lama tak terdengar,” balasku
“Baik sayangku. Maaf. Aku begitu sibuk akhir – akhir ini. Dikejar deadline. Tak pernah meneleponmu lagi,” sesalnya. Meskipun telah putus, Dodi terkadang masih menelponku dan masih memanggilku ‘sayangku’. Sekedar untuk mengucapkan halo atau membicarakan klien – kliennya.
“No problem,” jawabku. “Selamat Ulang Tahun ya,” kuserahkan bingkisan yang telah kupersiapkan.
“Wow... Terima kasih.. “You don’t have to do that,”
“Hey. It’s your birthday,” balasku.
“Ok dear. Ayo masuk. Ada seseorang yang ingin kuperkenalkan padamu. For your information, kamu orang pertama yang tahu akan hal ini,”
Aku mengikuti Dodi masuk ke apartemennya. Perasaanku mulai tidak enak. Rencana yang mulai kususun di dalam benakku mulai porak poranda. Apakah ini sebuah firasat? Sudah ada orang lain di ruang tamu nya. Seorang wanita duduk di atas sofa, sambil memandang ke luar jendela menikmati Jakarta di waktu malam.
”Sayangku, aku ingin memperkanalkan calon istriku, Annisa. Aku baru saja melamarnya,”
- tamat -

Sunday 17 April 2011

Sebuah Kisah dan Cerita Mengenai Cinta Sejati Seorang Istri

Alkisah di sebuah rumah mewah yang terletak dipinggiran sebuah kota, hiduplah sepasang suami istri. Dari sekilas orang yang memandang, mereka adalah pasangan yang sangat harmonis. Para tetangganya pun tahu bagaimana usaha mereka dalam meraih kehidupan mapan yang seperti saat ini. Sayang, pasangan itu belum lengkap. Dalam kurun waktu sepuluh tahun pernikahan mereka, pasangan itu belum juga dikaruniai seorang anak pun yang mereka harapkan.
Karenanya walaupun masih saling mencinta, si suami berkeinginan menceraikan istrinya karena dianggap tak mampu memberikan keturunan sebagai penerus generasinya. Setelah melalui perdebatan sengit, dengan sedih dan duka yang mendalam, si istri akhirnya menyerah pada keputusan suaminya untuk tetap bercerai.
Dengan perasaan tidak menentu, suami istri itu menyampaikan rencana perceraian kepada orang tua mereka. Meskipun orang tua mereka tidak setuju, tapi tampaknya keputusan bulat sudah diambil si suami. Setelah berbincang-bincang cukup lama dan alot, kedua orang tua pasangan itu dengan berat hati menyetujui perceraian tersebut. Tetapi, mereka mengajukan syarat, yakni agar perceraian pasangan suami istri itu diselenggarakan dalam sebuah sebuah pesta yang sama besarnya seperti pesta saat mereka menikah dulu.
Agar tidak mengecewakan kedua orang tuanya, maka persyaratan mengadakan pesta perceraian itu pun disetujui. Beberapa hari kemudian, pesta diselenggarakan. Sungguh, itu merupakan pesta yang tidak membahagiakan bagi siapa saja yang hadir dalam pesta itu. Si suami tampak tertekan dan terus meminum arak sampai mabuk dan sempoyongan. Sementara sang istri tampak terus melamun dan sesekali mengusap air matanya di pipinya. Di sela mabuknya si suami berkata lantang, “Istriku, saat kau pergi nanti. semua barang berharga atau apapun yang kamu suka dan kamu sayangi, Ambillah dan Bawalah !!“. Setelah berkata seperti itu, tak lama kemudian ia semakin mabuk dan akhirnya tak sadarkan diri.
Keesokan harinya, setelah pesta usai, si suami terbangun dari tidur dengan kepala berdenyut-denyut. Dia merasa tidak mengenali keadaan disekelilingnya selain sosok yang sudah dikenalnya bertahun-tahun yaitu sang istri yang ia cintai. Maka, dia pun bertanya “Ada dimakah aku ? Kenapa ini bukan di kamar kita ? Apakah aku masih mabuk dan bermimpi ? tolong jelaskan.”
Si istri menatap penuh cinta pada suaminya dengan mata berkaca-kaca dan menjawab, “Suamiku, ini karena dirumah orang tuaku. Kemaren kau bilang didepan semua orang bahwa engkau berkata kepadaku, bahwa aku boleh membawa apa saja yang aku mau dan aku sayangi. Di dunia ini tidak ada satu barang yang berharga dan aku cintai dengan sepenuh hati selain kamu. karena itu kamu sekarang kubawa serta ke rumah orang tuaku. Ingat, kamu sudah berjanji dalam pesta itu.”
Dengan perasaan terkejut setelah sesaat tersadar, si suami bangun dan memeluk istrinya, “Maafkan aku Istriku, aku sungguh bodoh dan tidak menyadari bahwa dalamnya cintamu padaku. Walaupun aku telah menyakitimu, dan berniat menceraikanmu, tetapi engkau masih mau membawa serta diriku bersamamu dalam keadaan apapun“.
Akhirnya kedua suami istri ini ini berpelukan dan saling bertangisan. Mereka akhirnya mengikat janji akan tetap saling mencintai hingga ajal memisahkannya.
Dalam Kisah diatas dapat kita petik makna bahwa :
Saat sebuah pernikahan dimulai, bukanlah hanya bertujuan menghasilkan keturunan, meski diakui mendapatkan buah hati adalah dambaan setiap pasangan suami istri. Tapi sebenarnya masih banyak hal lain yang juga perlu diselami dalam hidup berumah tangga.
Untuk itu rasanya kita perlu menyegarkan kembali tujuan kita dalam menikah yaitu peneguhan janji sepasang suami istri untuk saling mencintai, saling menjaga baik dalam keadaan suka dan duka. Melalui kesadaran tersebut, apapun kondisi rumah tangga yang kita jalani akan menemukan suatu solusi. Sebab proses menemukan solusi dengan berlandaskan kasih sayang ketika menghadapi sebuah masalah sebenarnya merupakan salah satu kunci keharmonisan rumah tangga. Harta dalam rumah tangga bukanlah terletak dari banyaknya tumpukan materi dan harta yang dimiliku suatu keluarga, namun dari rasa kasih sayang dan cinta pasangan suami istri yang terdapat dalam keluarga tersebut.
Maka jagalah harta keluarga yang sangat berharga tersebut :D